I'LL SEE YOU IN MY DREAMS (2015)

Tidak ada komentar
The title of this movie sounds poetic, romantic and bittersweet. Bagai ada kerinduan untuk bertemu dengan orang terkasih yang tidak bisa lagi kita temui secara langsung, sehingga mimpi menjadi satu-satunya cara berjumpa. Premisnya pun menyiratkan kesan serupa. Berikut adalah sinopsis yang saya ambil dari Wikipedia: Carol (Blythe Danner) adalah janda yang menyadari bahwa kehidupan dapat dimulai lagi dalam usia berapapun. Dengan bantuan teman-temannya, Carol berusaha untuk mengeksplorasi lebih banyak hal. Dia menjalin pertemanan dengan pembersih kolamnya,  Lloyd (Martin Starr), menjalani hubungan percintaan dengan Bill (Sam Elliott), dan merekatkan lagi hubungan dengan sang puteri, Katherine (Malin Akerman). Terdengar seperti kisah tentang perjalanan mencari makna hidup yang mendalam bukan? Sayangnya, hasil akhir yang dimiliki I'll See You in My Dreams jauh dari itu.

Sutradara Brett Haley memulai filmnya dengan cara standar yang biasa dipakai untuk menunjukkan kehidupan repetitif dan monoton sebuah karakter. Carol bangun di pagi hari, menjalani aktivitas hanya ditemani oleh anjingnya, bermain kartu bersama teman-temannya yang tinggal di komunitas pensiunan, lalu kembali tidur. Begitu seterusnya. Tapi ini bukan arthouse yang berusaha sebisa mungkin membuat penonton ikut merasakan kesepian karakternya entah lewat pengemasan tanpa musik atau pengambilan gambar tanpa putus. Momen itu hanya berlalu, membuat penonton tahu, tapi tidak ikut masuk dalam cerita beserta rasa. Tidak lebih dari sekedar cuplikan-cuplikan yang disatukan secara well-made lengkap dengan scoring berupa musik ala indie pop. Kondisi serupa bukan hanya terjadi pada opening saja, tapi keseluruhan filmnya. 
Segala bentuk "perjalanan" Carol seperti tertulis pada kutipan sinopsis di atas pada akhirnya tidak ada yang secara total mendapat eksplorasi. Memang benar Carol melakukan semua itu. Dia memulai pertemanan dengan Lloyd, dimana secara tersirat sang pemuda memendam perasaan lebih pada Carol. Tapi ini bukan Harold and Maude. I'll See You in My Dreams terlalu "pop" untuk berani menjamah ke area tersebut. Tapi interaksi antara Carol dan Lloyd cukup berhasil memberikan kehangatan lewat obrolan-obrolan santai sembari ditemani segelas wine. Lewat pemaparan hubungan keduanya pula kita berkesempatan menyaksikan Blythe Danner menyanyikan nomor klasik "Cry Me A River" secara elegan dan mempesona. Adegan itu merupakan salah satu highlight film ini. 

Kebersamaan Carol dan teman-temannya sesama lansia memberikan porsi komedi yang berhasil memancing beberapa tawa, dengan adegan menghisap marijuana vaporizer sebagai puncak kelucuan. Tapi tidak lebih dari itu. Mereka semua cukup lucu untuk disaksikan tapi tidak memberi sumbangsih apapun terhadap fokus utama narasi. Tidak lebih dari sekedar subplot pengisi yang menghibur. Lebih tersia-sia lagi adalah kisah cinta Carol dengan Bill serta hubungannya dengan Katherine. Setelah semua kehampaan yang menemani hidupnya, penonton haruslah diajak merasakan bahwa Carol akhirnya kembali menemukan sesuatu yang berharga berkat kehadiran Bill. Suatu hal yang mampu membuatnya menyadari bahwa usia lanjut bukan alasan untuk berhenti mencari kebahagiaan. Tapi sisi emosional sama sekali tidak saya rasakan. Sekali lagi semua hanya datang dan pergi tanpa kesan berarti. Termasuk kepulangan Katherine yang menandakan kemalasan naskah tulisan Brett Haley dan Marc Basch untuk menegaskan bahwa Carol masih memiliki sesuatu yang berharga dalam hidupnya.
Satu-satunya alasan kuat bagi saya untuk merekomendasikan film ini adalah akting Blythe Danner yang cukup untuk mendatangkan Oscar buzz (walau mungkin pada akhirnya tidak mendapat nominasi sekalipun). Begitu terpancar rasa dilematis dalam tiap gerak-gerik serta ekspresi wajahnya. Dilema yang muncul karena disatu sisi ia pesimistis untuk menjalin keterikatan dengan orang lain atau terus maju menjalani hidup jika pada akhirnya hanya kehilangan  berujung kesedihan yang akan didapat. Tapi disisi lain ada hasrat kuat untuk menikmati hari. 

Saya akui I'll See You in My Dreams adalah tontonan well-made yang cukup menghibur. Tapi sebagai eksplorasi mengenai kehidupan usia lanjut yang aspek hidupnya pasti banyak diisi dengan kematian dan dilema apakah hidup harus terus berjalan, film ini sama sekali tidak menyentuh sisi emosional. Bahkan dengan sebuah bittersweet ending sekalipun tidak ada pergolakan emosi yang saya rasakan. Terlalu banyak konflik relationship yang coba diangkat tanpa ada kekuatan pada masing-masing dan tidak adanya koherensi antara satu dan yang lain. Brett Haley berusaha menuturkan narasi yang free-flowing. Dia tidak ingin membuat film ini sebagai sebuah cerita yang berjalan lurus, melainkan pemaparan tiap sisi hubungan yang dijalani oleh Carol. Pilihan yang sama sekali tidak keliru, hanya saja seperti kehidupan karakter utamanya, film ini hampa. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: